12 Februari 2011

Saya, Ayah, dan SPMB

Dalam sebuah sabtu malam yang biru, dimana tak ada niat sedikit pun untuk bergerak dari tempat tidur karena keletihan yang maha dashyat. Hanya saya, Buku Ranah 3 Warna, cokelat panas, obat sakit kepala, dan BBM dari sahabat nun jauh di Borneo sana yang berambisi menjadi Alif dalam buku ini, Acan.

Awal buku ini bercerita tentang Alif, ayahnya, dan UMPTN (pada zaman saya berubah jadi SPMB). Ada sedikit sesak, seperti luka lama yang terkuak. Saya dibuatnya kembali menoleh kebeberapa tahun silam dan tercekat.

Juli 2005, disaat yang lain berpesta pora merayakan kelulusannya di universitas yang diinginkan, saya tertegun bisu, entah akan dibawa kemana masa depan saya setelah saya tidak diterima di universitas yang saya pilih. Ya, saya tidak lulus SPMB dan itu memukul telak saya hingga terjatuh dan tak mengerti cara membangkitkan diri.

Saya sedih, tapi saya rasa ayah saya lebih dari itu. Entah apa di benaknya. Anak pertamanya gagal lolos SPMB, setelah sebelumnya PMDK pun gagal. Ironis memang, diantara prestasi akademik saya yang lumayan di matanya. Ia menangis, dan itu membuat saya menangis lebih sesak. Bukan hanya kegelutan tentang masa depan yang masih samar, lebih dari itu saya membuat ayah saya menangis, memupuskan harapan tingginya mungkin. Bagaimana mungkin sesosok ayah yang super dan kuat di mata saya, menjatuhkan air matanya demi anaknya.

Alhamdulillah, Allah menunjukkan kekuasaanya untuk saya. Saya diterima di sebuah akademi pendidikan keuangan negara, STAN. Semua orang kembali mengangkat saya, termasuk ayah. Pujian demi pujian kembali mengisi hari yang sebelumnya hanya diisi dengan keprihatinan. Tapi itu tidak membuat saya bangkit dan ayah menyadarinya.

Akhirnya, saya menjalankan aktivitas perkuliahan saya di STAN, dengan keterpaksaan tentunya. Bodoh memang, tapi mohon dimengerti, STAN memang segalanya untuk sebagian lulusan SMA se-Indonesia, tapi tidak dengan saya. Dan diantara keterpaksaan tersebut, ayah-lah yang mengajarkan saya arti sebuah keikhlasan.

Memang ketika ikhlas itu datang, segala berubah lebih baik. Segalanya menjadi lebih indah. Saya ikhlas, sungguh. Dan STAN menjadi salah satu episode terbaik saya dalam 23 tahun ini. Prestasi, impian, dan persahabatan, serta eksistensi diri mengalir membuat saya ingin terus bersinar dan berbuat lebih. Dan kini sekolah itulah yang membawa saya ke instansi ini, instansi tempat pengabdian terhadap bangsa diwujudkan.

Saya akan berjuang demi orang-orang yang menyayangi saya tulus, saya harus bisa menaklukan dunia dengan tangan saya. Karena saya yakin, Tuhan tidak akan meninggalkan saya, setelah Ia bawa jauh saya di jalan ini, setelah Ia jatuhkan pilihan STAN dan PNS-nya untuk saya, setelah Ia libatkan saya pada urusan-urusan negara ini.

Ya, saya semakin yakin bahwa ada hikmah berharga disetiap kejadian yang telah diatur-Nya, Yang Maha Mengetahui mana yang baik dan buruk untuk saya. Jalan-Nya begitu indah, tanpa kita bisa menebak, tanpa bisa kita menolak. Terima kasih Allah, the best director of life, atas jalan-Mu ini. Bimbinglah saya selalu, berilah saya petunjuk dan cahaya-Mu dalam menelusuri jalan ini. Ridhoilah perjuangan saya dan jadikan jalan ini menjadi amal ibadah dan ladang jihad saya menuju surga-Mu.

2 komentar:

fatir mengatakan...

sentimen niy kalau lagi ngomongin spmb ya my ya? ;p

dee mengatakan...

sure you can bibeh