12 Februari 2011

Untukmu..

Takdirlah yang mempertemukan kami, dipersatukan oleh artis favorit wanita yang sama, sisanya semua berbeda. Unik memang, perbedaan yang membuat kami berdampingan, caci maki yang menumbuhkan persaudaraan.

Begitu sebalnya saya ketika orang memiripkan pemikiran dan kesukaan kami, dan pasti dia juga tidak kalah sebalnya, saya yakin itu. Selalu mencari alternatif pemikiran dan kesukaan lain agar tidak terlihat sama walau agak dipaksakan. Tak heran, adu persepsi dan argumen sering menghiasi perjalanan kami, walau pasti diakhiri dengan senyum di hati. Menyenangkan.

Dia bukan orang yang cukup pintar dalam mem-balance-kan debit kredit pada persamaan akuntansi, bukan juga orang yang pandai merangkai kata dalam karya ilmiahnya. Tapi satu hal yang pasti, dia begitu cerdasnya membuat saya terpingkal dengan kelakuannya, meredakan gengsi dan emosi saya, memainkan perannya dengan apik dalam salah satu episode perjalanan saya, memotivasi saya memenangkan kehidupan.

Seperti kata Gibran, "kawanku, kamu dan aku akan tetap asing terhadap kehidupan, terhadap satu sama lain, dan terhadap diri masing-masing, sampai hari ketika kamu berbicara dan aku mendengar, menganggap suaramu suaraku, dan ketika aku berdiri di hadapanmu, mengira diriku berdiri di depan cermin.

Dengan modal memahami dan menemani saya sudah cukup membuat dirinya ada di dalam doa panjang saya. Ya, saya berdoa semoga Allah selalu mempersatukan dan menjaga tali silaturahmi dan persaudaraan kita hingga akhir hayat, memberikan kesempatan untuk kita memimpin negeri ini, dan tetap menjadikan kita lentera yang bersinar abadi di kala lampu lainnya redup.

Benar Aristoteles berucap bahwa sahabat laksana satu jiwa yang terdapat dalam dua tubuh. Dulu hadirnya adalah sebuah biasa untuk saya, namun ketiadaannya saat ini menjadi sesuatu yang hilang, separuh jiwa saya.

Semoga, irama indah persahabatan kita tak pernah berganti nada. Langit biru tidak ditutup oleh awan kelabu. Terima kasih, terima kasih telah berperan banyak dalam mewarnai pencarian jati diri saya.

Untukmu, ya saya tau kamu membaca ini. Saya rindu.

Saya, Ayah, dan SPMB

Dalam sebuah sabtu malam yang biru, dimana tak ada niat sedikit pun untuk bergerak dari tempat tidur karena keletihan yang maha dashyat. Hanya saya, Buku Ranah 3 Warna, cokelat panas, obat sakit kepala, dan BBM dari sahabat nun jauh di Borneo sana yang berambisi menjadi Alif dalam buku ini, Acan.

Awal buku ini bercerita tentang Alif, ayahnya, dan UMPTN (pada zaman saya berubah jadi SPMB). Ada sedikit sesak, seperti luka lama yang terkuak. Saya dibuatnya kembali menoleh kebeberapa tahun silam dan tercekat.

Juli 2005, disaat yang lain berpesta pora merayakan kelulusannya di universitas yang diinginkan, saya tertegun bisu, entah akan dibawa kemana masa depan saya setelah saya tidak diterima di universitas yang saya pilih. Ya, saya tidak lulus SPMB dan itu memukul telak saya hingga terjatuh dan tak mengerti cara membangkitkan diri.

Saya sedih, tapi saya rasa ayah saya lebih dari itu. Entah apa di benaknya. Anak pertamanya gagal lolos SPMB, setelah sebelumnya PMDK pun gagal. Ironis memang, diantara prestasi akademik saya yang lumayan di matanya. Ia menangis, dan itu membuat saya menangis lebih sesak. Bukan hanya kegelutan tentang masa depan yang masih samar, lebih dari itu saya membuat ayah saya menangis, memupuskan harapan tingginya mungkin. Bagaimana mungkin sesosok ayah yang super dan kuat di mata saya, menjatuhkan air matanya demi anaknya.

Alhamdulillah, Allah menunjukkan kekuasaanya untuk saya. Saya diterima di sebuah akademi pendidikan keuangan negara, STAN. Semua orang kembali mengangkat saya, termasuk ayah. Pujian demi pujian kembali mengisi hari yang sebelumnya hanya diisi dengan keprihatinan. Tapi itu tidak membuat saya bangkit dan ayah menyadarinya.

Akhirnya, saya menjalankan aktivitas perkuliahan saya di STAN, dengan keterpaksaan tentunya. Bodoh memang, tapi mohon dimengerti, STAN memang segalanya untuk sebagian lulusan SMA se-Indonesia, tapi tidak dengan saya. Dan diantara keterpaksaan tersebut, ayah-lah yang mengajarkan saya arti sebuah keikhlasan.

Memang ketika ikhlas itu datang, segala berubah lebih baik. Segalanya menjadi lebih indah. Saya ikhlas, sungguh. Dan STAN menjadi salah satu episode terbaik saya dalam 23 tahun ini. Prestasi, impian, dan persahabatan, serta eksistensi diri mengalir membuat saya ingin terus bersinar dan berbuat lebih. Dan kini sekolah itulah yang membawa saya ke instansi ini, instansi tempat pengabdian terhadap bangsa diwujudkan.

Saya akan berjuang demi orang-orang yang menyayangi saya tulus, saya harus bisa menaklukan dunia dengan tangan saya. Karena saya yakin, Tuhan tidak akan meninggalkan saya, setelah Ia bawa jauh saya di jalan ini, setelah Ia jatuhkan pilihan STAN dan PNS-nya untuk saya, setelah Ia libatkan saya pada urusan-urusan negara ini.

Ya, saya semakin yakin bahwa ada hikmah berharga disetiap kejadian yang telah diatur-Nya, Yang Maha Mengetahui mana yang baik dan buruk untuk saya. Jalan-Nya begitu indah, tanpa kita bisa menebak, tanpa bisa kita menolak. Terima kasih Allah, the best director of life, atas jalan-Mu ini. Bimbinglah saya selalu, berilah saya petunjuk dan cahaya-Mu dalam menelusuri jalan ini. Ridhoilah perjuangan saya dan jadikan jalan ini menjadi amal ibadah dan ladang jihad saya menuju surga-Mu.

Kontempelasi Malam Ini

Ciputra, pukul 02.00 dini hari. Saat kantuk dan malas menyerbu tanpa ampun, menggeregoti sisa semangat menyelesaikan pekerjaan.

Hanya terdengar suara nafasku yang terengah-engah mencoba membakar diri, sesekali suara tuts laptop menyeruak bilangan-bilangan pada matrik, pekerjaanku. Penat, ingin rasanya lari dari rutinitas, merumput pada fatamorgana malam Jakarta, atau sekedar pulang ke tempat aku dimiliki.

Ah, apa ini, tak seharusnya pikiran itu terbesit sedikitpun. Kewajiban-kewajibanku pada negara pada penugasan kali ini belum terselesaikan, pikiran dan tenagaku masih harus ku pakai demi secercah nafkah dan sebuah loyalitas bernama pengabdian tulus.

Aku malu. Disaat cita-citaku mengabdi kepada negara masih bernilai nol besar, disaat impianku memekikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan Merah Putih bahkan di tanah asing sekalipun belum tercapai, disaat mimpiku menyetarakan derajat bangsa masih menjadi angan, aku mulai menyerah dengan keadaan, aku mulai berlutut kepada kestagnansian.

Apa yang telah ku berikan kepada bangsa ini setelah 23 tahun mengaku bertanah air disini? Di saat pemuda seusiaku berjibaku membela bangsa melalui pertandingan olahraga, atau adik-adik juniorku memeras otak pada olimpiade science internasional, atau pemudi dengan misi pertukaran budaya. Aku bahkan mengeluh, mengutuk ketidakberdayaanku mengusir malas dan kantuk.

Arghh, sudahlah. Semoga kontemplasi ini berguna untukku menjalani dedikasi ini, mewujudkan asaku menjadi kebanggaan bangsa ini, meng-Indonesia-kan Indonesia.

"Bagimu Negeri, jiwa raga kami.."

Apa Rasanya Pensiun Nanti??

Jumat, 28 Januari 2011

Hari ini, spesial bagi Pak Carmadi, seorang kawan di ruangan yang akan mengakhiri masa tugasnya karena pensiun. Beliau yang selalu datang dan pulang tepat waktu, selalu mengajak saya sholat berjamaah saat adzan tiba, selalu membawa tape untuk kita seruangan. Beliau yang menginspirasi saya untuk hidup sehat (walau belum berhasil, hhe). Ada sekelumit cerita ketika saya bertugas bersamanya. Beliau selalu ribut kalo saya pasang AC dengan suhu terlalu rendah sampai akhirnya saya tipu dengan mengatakan kalo ACnya bocor, dan berhasillah saya, hehe (untuk yang satu ini saya sudah minta maaf, beliau hanya tertawa, paham). Yang jelas, saya tidak ada teman kontrol di poli jantung sekarang ini.

Sebenernya yang ingin saya share adalah pikiran saya berlari jauh ke suatu masa dimana saya yang harus pensiun. Apa ya rasanya berada pada posisi beliau saat ini?! Yang tiba-tiba menghilang dari rutinitas berpuluh-puluh tahun, yang hanya tercukupi oleh uang pensiun, yang tidak bisa berbuat lebih di institusi ini, post power syndrome pastinya.

Dari kejauhan saya memperhatikan aktivitasnya di hari terakhir ini, merapikan meja, membawa berkas yang dianggap perlu. Ahh, setitik embun tergenang dipangkal mata saya, terharu. Entah apa yang dirasa saat harus angkat kaki dari kursi yang setiap hari diduduki. Flash back saat mulai masuk kerja jadi cpns, haru biru persahabatan, jatuh bangun saat penugasan, semua mungkin termainkan dengan jelas.

Saat itu mungkin kita akan menyadari betapa kecilnya diri ini, betapa tak berdayanya kekuatan ini. Ya, saat itu mungkin akan timbul pemikiran jika tenaga, pikiran, dan sumbangsih kita sudah tidak diperlukan lagi, sudah ada tenaga-tenaga muda dengan pemikirian dasyat yang menjadi substitusi kita. Saat itu kita menyadari bahwa kita telah direnggut oleh hidup, tua.

Berjuta rasa untukmu Pak. Salam hormat saya selalu. Terima kasih atas bimbingannya selama ini. Mohon doanya agar saya bisa "lulus" sekolah ini.

Ya, entah apa rasanya jadi seorang pensiunan. Semoga Allah mencukupkan usia saya hingga saat itu. Semoga sebelum pensiun nanti, semua kewajiban saya memberikan sumbangsih kepada bangsa ini terbayarkan dengan lunas. Dan semoga saya menjadi orang yang berbahagia karena amanah yang tertunaikan dengan sempurna. Amin..